Keunikan Taman Wisata Alam Pulau Manipo
Wilayah7.com. Taman Wisata Alam (TWA) Menipo memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai salah satu iconic daerah tujuan ekowisata unggulan minat khusus di Pulau Timor Provinsi NTT. Memiliki tipe vegetasi hutan tropis lahan kering dan keindahan savanna landscape dengan keanekaragaman flora khas semi arid dan habitat beberapa spesies non-endemic dan endemic, beberapa diantaranya telah masuk dalam daftar merah (red list) terancam punah, TWA ini layak untuk dijadikan ekowisata unggulan. Adanya species endemic menjadikan TWA Pulau Menipo menjadi salah satu pusat konservasi bernilai strategis nasional dengan beberapa spesies kunci yang hanya dapat dijumpai di wilayah semi-arid Indonesia.
Ada beberapa tipe vegetasi dominan landscape antara lain savana, lontar (Borrassus flabelifer), cemara laut (Casuarina equisetifolia), asam (Tamarindus indica), waru (Hibiscus tiliacius) dan berbagai jenis bakau. Tipe vegetasi savanna berada di sebagian tengah pulau dengan jenis-jenis dominan antara lain: beberapa jenis rumput Microlaena stipoides, Demodium capitatum, Paspalum scrobiculatum, dan Imperata cylindrical; di bagian timur dijumpai jenis Jarak (Riccinus sp), waru (Hibiscus tiliacius) dan beringin (Hibiscus sp). Dominasi landscape savanah diselingi kelompok kecil vegetasi lontar dan kesambi (Schleicera oleosa). Vegetasi lontar tersebar hampir sebagian besar Pulau Menipo. Vegetasi cemara laut tersebar di selatan dan sekitar garis pantai. Sedangkan vegetasi bakau, terbentang dari ujung timur ke barat di sepanjang selat antara Pulau Menipo dan Pulau Timor. Jenis-jenis Bakau yang dapat diidentifikasi antara lain Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Ceripos tagal, Bruguiera conyugata dan Bruguiera exaristata (Rapeliga, 2021). Kondisi mangrove yang relative baik, apabila dilihat dari atas menampilkan pemandangan mosaik alam “surga” yang sangat kontras dengan tipikal Pulau Timor yang kering dan relative tandus.
TWA Menipo juga memiliki satwa beragam berlimpah dan beberapa telah menjadi endemic. Adapun daftar spesies endemic tersebut yaitu (1) Penyu: Penyu Belimbing (Dermocheyis coriacea), Penyu Tempayan (Caretta caretta), dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), (2) Burung Kakatua Putih Kecil Jambul Kuning (Cacatua sulphurea); dan (3) Rusa Timor (Cervus timorensis). Penyu telah terdaftar dalam red list yang dikeluarkan IUCN appendix I CITES (PP Nomor 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa) karena secara global, penyu telah mengalami ancaman kepunahan. Pemerintah Indonesia juga telah memasukan Burung Kakatua Kecil Jambul Kuning menjadi salah satu dari 25 jenis satwa prioritas terancam punah (SK Dirjen KSDAE Nomor: SK.180/IV-KKH/2015). Sedangkan populasi Rusa Timor terus mengalami penurunan tajam ± 65% berdasarkan data Balai Besar KSDA NTT, selama periode pemantauan 4 tahun (tahun 2011 terpantau 329 turun menjadi 115 ekor tahun 2015). Hal ini diduga akibat perburuan liar. Species lain yang berlimpah adalah kelelawar dan buaya muara yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitat untuk berlindung dan berkembang biak. Species lain yang mudah dijumpai antara lainkera (Macaca fascicularis), babi hutan (Sus vitatus), biawak (Varanus salvator), ular sanca timor (Phyton timorensis), burung camar (Sterna sp), burung perkici (Tricholosus haematodus),Elang laut (Haliaretus leucogaster), raja udang (Halcyon sp), pecuk ular (Anhinga melanogaster), burung gelatik (Pada orizyphora), bangau putih (Egretta sacra), burung perkutut (Geopelia striata), bangau hitam (Ciconia episcopus), dan burung koakiu (Philemon inornatus (Rapeliga, 2021).
Selain menyimpan kekayaan flora dan fauna, TWA Pulau Menipo juga menyimpan pemandangan indah berupa gundukan dan hamparan pasir putih akibat pasang air laut. Keindahan alam yang menakjubkan ini menawarkan spot foto yang menarik bagi pengunjung dengan latar belakang pantai pasir putih dan dengan latar belakang laut lepas (Laut Timor) yang jernih dan biru. Jadi prospek pengembangan ekowisata TWA Menipo sangat menjanjikan ditinjau dari konservasi, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat local. Pemerintah melalui Balai Besar NTT dan Gubernur NTT sejak 2019 telah mencanangkan dimulainya pengembangan ekowisata dengan mengelaborasi 3 pilar utama yakni Adat, Agama, dan Pemerintah.
Tinjauan Teori
Istilah Ekowisata sering diperdebatkan dan digunakan untuk mengidentifikasi bentuk pariwisata, yang berpusat pada pengamatan alam. Di Indonesia dikenal dengan sebutan wisata alam. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, mendefinisikannya sebagai berikut:
Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam (Pasal 1, ayat (4)).
Batasan ini, lebih menitikberatkan sisi ekploitasi yakni pengunjung mendapatkan pengalaman perjalanan sambil menikmati apa yang dijumpai dan secara moral, tidak ada berkontribusi terhadap upaya konservasi dan pemberdayaan masyarakat setempat. Ada definisi yang sedikit lebih luas, oleh Asosiasi Ekowisata Australia (1992), Ekowisata sebagai pariwisata berkelanjutan secara ekologis melindungi lingkungan alam dan mendorong pemahaman, apresiasi, dan pelestarian elemen budaya. Fennell (2001) meringkasnya dengan istilah pendidikan, etika, dampak, dan manfaat lokal. Oleh the International Ecotourism Society, Ekowisata sebagai perjalanan yang bertanggung jawab terhadap kawasan alami, yang melestarikan lingkungan dan menopang kesejahteraan masyarakat setempat. PBB juga menetapkan tahun 2002 sebagai the International Year of Ecotourism dengan Deklarasi Quebec, Kanada. Deklarasi ini menyarankan 5 kriteria untuk mendefinisikan ekowisata: (1) produk berbasis alam; (2) manajemen dampak minimal; (3) pendidikan lingkungan; (4) kontribusi terhadap konservasi; dan (5) kontribusi kepada masyarakat local. Atas dasar fitur ini, ekowisata diharapkan dapat melindungi kawasan ekowisata dan meningkatkan standar hidup dan menghormati budaya mayarakat setempat. Jadi definisi ekowisata adalah perjalanan yang bertanggungjawab dengan mempelajari dan memahami ekologi kawasan, melindungi lingkungan alami dan mendukung pemberdayaan ekonomi dan respek terhadap budaya local. Dengan demikian ekowisata mengandung tiga makna yakni konservasi alam, pendidikan (educating visitors) dan manfaat bagi penduduk setempat.
Pengalaman pengelolaan Ekowisata telah terbukti mendidik dan mendorong kontribusi terhadap konservasi. Kontak ‘alami’ dengan alam dapat memperkuat pendidikan lingkungan dan meningkatkan empati terhadap konservasi spesies liar (Kimmel, 1999; Miles,1987). Pengalaman pengunjung di kebun binatang secara pasif menonton gajah sajapun, dapat membangun sikap pro-konservasi (Swanagen, 2000). Demikian juga keinginan berkontribusi sebagai bukti kepedulian terhadap konservasi dijumpai di Australia, ketika wisatawan melihat dan berinteraksi dengan penyu, mendapatkan laporan adanya penyu yang sakit, bersedia membayar lebih untuk mendukung konservasi penyu (Tisdell & Wilson, 2000).
Indonesia mencanangkan tahun 2002 sebagai Tahun Ekowisata Nasional dan sejak saat itu, ekowisata mulai menjadi industri yang berkembang cukup menjanjikan. Dengan keanekaragaman hayati, agama, dan budaya, Indonesia mempromosikan ekowisata dengan optimisme bahwa ekowisata akan memberikan pilihan untuk memanfaatkan keanekaragaman tersebut secara berkelanjutan dan ekonomis, dan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Ekowisata kawasan konservasi sebagai cara untuk melindungi alam secara ekonomi, membantu masyarakat local dan wisatawan dalam melindungi lingkungan alam melalui promosi pendidikan lingkungan. Ekowisata memberi peluang kerja alternative bagi masyarakat dengan menampilkan budaya asli dan meningkatkan taraf hidup. Melalui Ekowisata juga diharapkan dapat menjadi cara untuk membawa masyarakat local pada kesadaran akan pentingnya alam. Karakterisitik ini membawa keuntungan tidak saja bagi daerah tetapi juga buat negara melalui promosi ekowisata.
Meskipun ekspektasi tinggi terhadap ekowisata di Indonesia, namun ada jalan panjang yang harus dilalui karena kenyataannya tidak selalu sesuai apa yang dipromosikan dalam konsep ekowisata itu sendiri. Hal ini bisa saja akibat pertumbuhan penduduk Indonesia yang besar yang membutuhkan ruang hidup dan mata pencaharian sehingga banyak kawasan konservasi termasuk wisata alam mengalami persoalan seperti pembukaan lahan, perburuan satwa langka, konversi lahan, tambak dan lain-lain (Manurung, 2000). Studi ekowisata di beberapa tempat di Bali menunjukan bahwa tidaklah begitu menjanjikan karena secara ekonomi biaya pengelolaan lebih besar dari pemasukan dari Ekowisata (Tomomi, 2010). Namun, keseimbangan antara menggunakan (menonton) dan melindungi satwa dicapai bila memfasilitasi kepuasan bagi keduanya. Wisata minat khsusus biasanya memiliki segmen pengunjung yang terbatas karena ada kode etik (code of conduct) sebagai pedoman aktifitas ekowisata. Wisatawan sudah mengerti apa yang akan dia dapatkan dengan sejumlah biaya yang dia bayar. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengharapkan hasil pengembangan ekowisata dalam periode waktu tertentu dan membutuhkan kesabaran dalam mengelola setiap kepentingan. Demikian juga dengan pengembangan ekowisata TWA Menipo harus dirancang dengan penuh kehati-hatian agar tidak bernasib buruk seperti ekowisata di tempat lain. Fondasi pengelolaan TWA Menipo telah ada yakni Desain Tapak pada Blok Pemanfaatan dimana telah disediakan ruang publik dan ruang usaha. Fondasi ini diharapkan dapat mewujudkan tata ruang pengelolaan ekowisata yang serasi dan harmonis berdasarkan kaidah, prinsip, dan fungsi konservasi.
Tantangan
Berdasarkan analisa literature, dapat disampaikan beberapa tantangan yang akan dihadapi:
- Ekonomi: Masyarakat desa Enoraen umumnya sebagai petani dan beternak. Adanya aktifitas ekowisata, masyarakat harus siap untuk membuka diri menerima wisatawan. Ada transisi aktifitas ekonomi. Selain itu adanya peningkatan kesempatan kerja tetapi membutuhkan kualifikasi yang belum tersedia di desa Enoraen.
- Infrastruktur: Akses jalan, sarana komunikasi, dan kesehatan belum memadai. Termasuk penyediaan lapak-lapak dan sentra produksi kerajinan tangan (souvenir) harus dibangun. Ini membutuhkan waktu untuk menyiapkan semua pra kondisi ini menjadi mandiri.
- Sosial-budaya masyarakat lokal: Manfaat tidak langsung dari peningkatan kunjungan seperti transformasi pola pikir yang bisa menggerus nilai local seperti gotong royong. Hal buruk yang mudah dialami oleh generasi muda di desa karena akan dengan mudah kopi/mimic budaya luar yang dibawah wisatawan, walaupun studi mengatakan bahwa dampak relative kecil karena lama tinggal wisatawan relative singkat. Ada permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah pertambahan penduduk, penggunaan bahan bakar kayu, dan pertanian yang ramah lingkungan.
- Konservasi itu sendiri: Sejauh ini belum ada kajian mengenai daya dukung dan daya tampung TWA Menipo. Berapa jumlah wisatawan yang dapat berkunjung sekali dalam satu waktu pada tempat yang sama. Kehadiran jumlah pengunjung berpotensi menimbulkan persoalan kelangsungan spesies-spesies tertentu. Seperti interaksi langsung dengan satwa yang sensitive seperti penyu dimana penyu sangat sensitive terhadap sinar lampu. Masih adanya perburuan liar terhadap rusa juga menjadi tantangan untuk diatasi.
Peluang Pengembangan
Ada 4 peluang ekowisata di sekitar dan di dalam TWA Menipo sebagai arah pengembangan yaitu:
– Atraksi berbasis alam
Wisata berbasis alam terdiri dari mengajak pengunjung untuk melihat, memotret, dan merasakan fitur alam atau satwa liar. Contohnya adalah pengamatan burung (bird watching), pengenalan mangrove, pengamatan Rusa Timor, Pengamatan Penyu, dan atraksi memberi makan buaya. Saat matahari terbit dan terbenam, sangat menyenangkan untuk bersantai dan mengamati berbagai burung termasuk burung migrasi dan kelelawar yang terbang di langit TWA Menipo. Perjalanan di alam terbuka adalah menyenangkan untuk menemukan dan menikmati lingkungan alami, mendorong rasa hormat dan apresiasi terhadap alam. Aktifitas ini menawarkan peluang penuh petualangan, dari berjemur, memancing, dan trekking. Selama berkunjung, wisatawan dapat mempelajari tentang budaya, kearifan, dan cerita rakyat. Tentu saja wisatwan dapat merasakan makanan tradisional.
Pantai TWA Menipo menjadi tempat pendaratan penyu setiap tahun untuk bertelur. Pengunjung dapat menyaksikan penyu menggali lubang dan meletakkan telurnya; dan jika mereka cukup beruntung, mereka mungkin melihat bayi penyu menetas dan melakukan perjalanan kembali ke laut dengan gerakan magis.
Wisata mendayung perahu di selat TWA Menipo juga menjadi salah satu atraksi petualangan melalui saluran di dalam hutan bakau hijau yang rimbun dan akan menjadi sensasi yang tidak bakal dilupakan. Selama perjalanan mereka dapat memancing ikan. Perjalanan melalui rawa alami yang berada di dalam hutan bakau adalah sebuah pengalaman yang sensasional.
– Atraksi budaya
Wisata budaya adalah bentuk lain dari ekowisata, dan memiliki potensi besar di Enoraen. Ini termasuk berinteraksi dengan masyarakat local dalam hal seni berkarakter lokal. Wisata budaya menampilkan budaya material, seperti kerajinan tangan (termasuk tenun adat), dan budaya tak berwujud seperti masakan tradisional, api unggun, musik dan tarian asli. Berkumpul di malam hari sambil berbagi cerita rakyat dan bertukar kata-kata bijak adalah norma bagi penduduk asli daerah tersebut.
– Pendidikan dan penelitian
Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman pendidikan lingkungan berbasis alam bagi pengunjung dan mendorong sikap untuk ikut bertanggungjawab atas keberlanjutan ekowisata TWA Menipo. Kesempatan bekerja sama dengan peneliti untuk mengumpulkan data lapangan dan untuk mempelajari spesies-spesies yang ada. Pendidikan ini berfungsi untuk memberikan informasi tentang sejarah alam dan budaya TWA Menipo; juga mempromosikan etika konservasi yang akan menanamkan sikap pro-lingkungan yang lebih kuat. Bagi anak-anak sekolah, melihat langsung satwa di alam liar akan menciptakan ikatan yang kuat dalam ikut aktif untuk membentuk karakter masa depan yang bertanggung jawab dan tidak merusak lingkungan.
– Pemberdayaan masyarakat lokal Masyarakat dilatih untuk menjadi tur pemandu, dilengkapi informasi mendalam tentang ekologi, keanekaragaman hayati dan keunikan daerah. Seperti panduan tentang habitat fauna dan flora terutama spesies kunci dan penting. Pelatihan untuk membuat cenderamata dan kerajinan tangan seperti tenun ikat yang bermotif spesies-spesies unik TWA Menipo. Masyarakat setempat dilatih cara membangun homestay dari bahan-bahan local dan menggunakan tipikal bangunan lokal. Aspek penting yang harus diberdayakan adalah operasi keselamatan pada pertolongan pertama untuk memastikan bahwa keselamatan menjadi prioritas utama.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
- Kesimpulan
Ekowisata bukanlah konsep sederhana untuk didefinisikan dan langsung untuk diterapkan. Ekowisata harus dilihat sebagai sarana menggabungkan tujuan konservasi sumber daya alam dan pembangunan daerah melalui model pariwisata yang sinergis. Ini berarti bahwa konsistensi harus dijaga agar tujuan pengembangan ekowisata tidak mengganggu kawasan alami dan keanekaragaman hayati.
Ekowisata harus berfungsi di bawah premis sumber daya alam terbatas. Melalui pendidikan dan adanya sumber tambahan pendapatan dari ekowisata akan mendorong masyarakat untuk menjadi penjaga lingkungan mereka. Penduduk local menjadi advokat untuk perlindungan sumber daya alam mereka dan bangga dengan keunikan lingkungan. Selanjutnya, jika perencanaan dan pengambilan keputusan tidak melibatkan penduduk lokal, maka ekowisata tidak akan berhasil, dan bahkan dapat merugikan konservasi TWA Menipo dan masyarakat lokal.
B. Rekomendasi
Perlu kajian lebih lanjut antara lain:
- Kajian daya dukung dan daya tampung TWA Menipo;
- Persepsi masyarakat tentang ekowisata TWA Menipo;
- Kajian terhadap model-model pengelolaan ekowisata yang cocok untuk TWA Menipo.