A. PENDAHULUAN
Generasi muda adalah masa depan. Untuk itu mempromosikan hak-hak generasi muda dan memperkuat suara kaum muda khususnya dalam pengambilan keputusan tentang aksi nyata terhadap isu-isu lingkungan hidup melalui pengembangan kapasitas, partisipasi politik, dan dukungan berbagai pemangku kepentingan lain adalah solusi terbaik dalam mewujudkan masa depan bersama dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa perspektif unik dan ide segar potensial kaum remaja untuk menghadapi tantangan global masa depan terkait permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi umat manusia adalah layak untuk didengar dan diberi ruang yang memadai untuk mewujudkan aksi nyata. Remaja juga harus menjadi bagian solusi masa depan atas tiga ancaman utama berupa perubahan iklim, kehilangan keanekragaman hayati, dan pencemaran lingkungan (United Nations Peace with Nature, 2021). Banyak pihak menyadari bahwa persoalan lingkungan hidup di masa yang akan datang akan semakin kompleks dan sulit dikendalikan apabila Pemerintah, swasta dan berbagai pemangku kepentingan lainnya tidak memasukan pertimbangan lingkungan hidup secara inklusif dan menyeluruh dalam setiap kebijakan pembangunan. Tidak dapat disangkal bahwa generasi mudalah yang akan menanggung resiko dan penderitaan selama sepanjang hidup mereka akibat perubahan lingkungan alam.
Kita juga menyadari bahwa generasi sebelum kita telah mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa memberikan waktu yang cukup untuk alam memulihkan diri ke sediakala. Hutan alam yang menyimpan kekayaan aneka ragam sumber daya alam tumbuhan dan hewan menjadi rusak dan punah karena pemanfaatan yang melampaui batas maksimum produksinya. Manusia beralibi bahwa merusak habitat alamiah didasarkan pada upaya pemenuhan kebutuhan umat manusia melalui pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran dengan mengkonversi hutan alam menjadi areal pemukiman, pertanian dan perkebunan. Produksi masal hasil-hasil pertanian untuk memberi makan penduduk dunia melalui konervasi hutan alam menjadi areal pertanian berskala besar. Perkebunan besar seperti sawit, kakao dan karet telah menjadi biang konversi hutan alam kita. Untuk menyediakan daging (sumber protein) juga mengkonversi hutan alam menjadi padang penggembalaan khususnya peternakan besar (range). Generasi sekarang dan yang akan datang, sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan pernah mengalami dan kontak langsung dengan hutan alam primer yang kaya akan aneka-ragam sumber daya alamnya.
Sebaliknya, generasi sekarang juga memproduksi limbah dan sampah melebihi generasi sebelumnya dan ironisnya kita belum mampu mengelolah dengan baik sehingga menambah deretan persoalan terhadap alam kita. Produksi masal hasil-hasil pertanian dengan menggunakan benih modifikasi disertai penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak terkontrol sehingga berakumulasi menjadi racun yang mematikan bagi generasi yang akan mewarisi bumi ini. Produksi sampah, residu pupuk dan pestisida yang meningkat juga turut merusak kehidupan liar di alam termasuk sanitasi kota, sungai, danau dan laut. Lingkungan yang kotor dan buruk sanitasinya akan menjadi sumber berbagai jenis penyakit. Pencemaran air, tanah dan udara akibat produksi massif dan masal yang dikejar demi gaya hidup makmur dengan menggunakan energy listrik yang berbahan bakar minyak termasuk transportasi termasuk kebakaran hutan dan lahan yang terus meningkat di seluruh dunia akan berkontribusi terhadap meningkatnya jumlah karbon dikosida (CO2) di atmosfir. Meningkatnya jumlah CO2 yang berlebihan di atmosfer dapar merubah pola iklim bumi ini. Dengan demikian generasi masa depan akan menghadapi konsekuensi perubahan iklim yang dashyat seperti siklon, intensitas hujan yang tinggi, banjir, kekeringan, gagal panen dan berbagai jenis penyakit yang mematikan.
Namun ada secercah harapan dimana generasi muda yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012 dalam sebuah studi telah mengungkapkan bahwa mayoritas mereka mendukung transformasi perubahan menuju kehidupan yang ramah lingkungan khususnya aspek sosial dan ekonomi serta yang sangat penting adalah kerelaan untuk berdamai dengan alam (Walton family Foundation, 2022). Oleh karena itu, generasi muda harus bertindak nyata saat ini dan dimulai dari lingkungan sekitar mereka. Salah satu potensi sumber daya alam yang harus menjadi perhatian adalah pengelolaan lestari terhadap sumberdaya pesisir dan laut dimana kita sangat bergantung pada sumber daya ini sebagai pusat pertumbuhan penduduk, aktifitas ekonomi dan sosial. Salah satu sumber daya alam pesisir penting dan strategis yang berada wilayah Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah Teluk Kupang (gambar 1). Kawasan ini telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang (dalam peta diberi warna pink).
TWAL Teluk Kupang merupakan salah satu Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang terletak di Provinsi NTT tepatnya di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang dengan cakupan areal perairan seluas 63.881 Ha (SK Menhut No.SK3911/Menhut-VII/KUH/2014). Kota Kupang sebagai pusat kegiatan pemerintahan, pertumbuhan ekonomi, social, jasa, dan perubahan gaya hidup berimplikasi terhadap upaya melestarikan kawasan TWAL ini. TWAL ini dibentuk dan ditetapkan bertujuan utama untuk pariwisata dan rekreasi alam, serta secara alamiah dan historis berfungsi juga sebagai tempat mencari makan bagi satwa burung migran dan burung lokal (Hidayat, 2019). Kondisi penutupan karang termasuk kategori sedang/cukup (Foenay, et.al, 2015). Ada kenangan masa lalu dimana pemancing lokal dapat memancing di sepanjang garis pantai di TWAL Teluk Kupang, kini aktifitas ini sudah terhenti karena ikan yang semakin berkurang.
Namun ada beberapa masalah yang dapat mengancam upaya pelestarian TWAL Teluk Kupang antara lain: (1) Alih fungsi hutan bakau dan sempadan pantai menjadi pemukiman, hotel, rumah makan, restaurant, dan rekreasi (Bessie, et.al. 2013); (2) Sampah rumah tangga yang langsung bermuara ke Teluk Kupang (Muskananfola, et.al, 2020 & WALHI NTT, 2023); dan (3) belum adanya mekanisme aksi nyata kolaborasi pengelolaan TWAL dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) (Pellokila & Sagala, 2019; UNEP, 2021). Gambar 2, menunjukan salah satu contoh adanya alih fungsi lahan untuk tempat pendaratan ikan di Oeba Kota Kupang.
Kota Kupang secara administrasi terbagi menjadi 6 Kecamatan dan 51 Kelurahan. Luas wilayah 180,27 Km2. Jumlah penduduk tahun 2022 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Kupang sebanyak 236.182 jiwa. Sarana pendidikan meliputi Sekolah Dasar (SD) sebanyak 149 buah, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 58 buah, Sekolah Menengah (SMA/SMK) 42 buah dan Perguruan Tinggi/Akademi sebanyak ± 16 buah. Topografi berbukit dengan ketinggian berkisar 0-130 meter dpl dimana semua aliran air hujan langsung mengalir masuk teluk Kupang.
Kini TWAL Teluk Kupang sedang mengalami suatu proses yang tidak terurus dengan baik karena tidak adanya forum komunikasi yang baik antara pemangku kawasan TWAL teluk Kupang yaitu Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wilayah NTT (BKSDAE NTT) yang bernaung dibawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Pemerintah Daerah (Provinsi NTT dan Kota Kupang) termasuk swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat. Fungsi TWAL Teluk Kupang untuk wisata dan pendidikan tidak nampak aktifitasnya secara nyata di lapangan. Ironisnya masyarakat Kota Kupang belum begitu mengetahui bahwa Teluk Kupang menyimpan keanekaragaman sumber daya alam berupa terumbu karang dan kekayaan ikan.
Penulis berpendapat bahwa membangun aksi nyata kolaborasi remaja kota kupang dalam kesadaran kolektif dini pengelolaan TWAL Teluk Kupang sebagai tempat wisata, sarana pendidikan, dan ekonomi menjadi suatu keharusan sekaligus transformasi gaya hidup berwawasan konservasi bagi remaja generasi era kekinian. Perlu adanya tindakan nyata di Kota Kupang untuk mempromosikan pengakuan dan implementasi hak anak atas lingkungan yang sehat. Beberapa upaya yang akan ditempuh untuk mewujudkan sebuah aksi kolaboratif remaja kota Kupang bersama berbagai pemangku kepentingan lainnya seperti BKSDAE NTT, Pemerintah Daerah, Dewan Perkilan Rakyat Daerah (DPRD), Dinas Pariwisata, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam melestarikan kawasan TWAL Teluk Kupang akan dibahas lebih lanjut dalam esay ini. Esay ini akan ditutup dengan saran teknis untuk mewujudkan hak asasi anak atas pengelolaan pesisir dan pantai di TWAL Teluk Kupang.
Pada edisi berikutnya penulis akan menguraikan bagaimana proses kolaborasi yang dapat mendorong peran remaja dalam pelestaraian sumber daya alam.