TN Mutis Timau

TANTANGAN PERUBAHAN CAGAR ALAM MENJADI TAMAN NASIONAL MUTIS TIMAU DI PULAU TIMOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Gunung Mutis adalah gunung tertinggi di Pulau Timor merupakan hutan alam primer yang relative masih utuh tutupannya. Sejak Pemerintahan colonial Belanda telah ditetapkan sebagai hutan tertutup sejak 1928. Ketika Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia melakukan perubahan status menjadi Cagar Alam Mutis Timau pada tahun 1983. Nilai penting dari kawasan konservasi ini adalah peran strategis dan esensialnya sebagai daerah tangkapan air dengan daerah aliran sungai terbesar di Pulau Timor yakni DAS Benenain yang bermuara hingga Kabupaten Malaka. Selain itu sebagai habitat flora dan fauna endemic khas Timor, sumber makanan, area penggembalaan dan tentu saja sebagai salah satu hot spot “carbon pool”.

Perubahan status Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman Nasional mendapat tantangan dan penolakan dari beberapa tokoh masyarakat di dalam dan sekitar kawasan Mutis Timau (link). Beberapa tokoh adat (usif dan amaf) dan tokoh masyarakat khususnya masyarakat adat Mollo merasa tidak dilibatkan dalam proses penetapannya. Implikasinya menimbulkan perbedaan pemahaman yang utuh akan hal-hal teknis dan aspek social, budaya dan ekonomi yang berdampak langsung terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat (link). Hal ini juga dianggap tidak menghormati kearifan dan budaya Mollo (link). Adapun kekuatiran masyarakat berupa:

  • Dampak Perubahan Status

Masyarakat berpendapat bahwa dengan menjadi Taman nasional akan meningkatkan aktifitas pariwisata berarti membuka akses yang lebih luas. Dampak negative dari semakin meningkatnya akses akan menurunkan keutuhan dan kesakralan Mutis sebagai jantung peradaban orang Mollo. Gunung Mutis adalah gunung tertinggi pulau Timor adalah symbol warisan para leluhur dan menjadi sumber pangan, obat-obatan, pusat ritual sehingga dianggap sacral dan identitias.

Gunung Mutis juga merupakan salah satu sumber air yang mengalir melintasi wilayah kabupaten Timor Tengah Utara dan Malaka yang umum dikenal sebagai kali Benenain. Secara adat Mollo, pemberian akses oleh Pemerintah dengan menjadi Taman Nasional maka peran adat akan ditinggalkan.

  • Kekuatiran Akan Hilangnya Adat Mollo

Para tokoh adat merasa bahwa aspek teknis lebih diutamakan dari aspek ekonomi, social, budaya dan adat istiadat. Mereka berpendapat bahwa pembagian zonasi/blok perlindungan kawasan Cagar Alam telah sejalan dengan dengan adat istiadat dimana ada pembatasan-pembatasan akses dari penduduk local. Dengan perubahan status menjadi Taman Nasional maka perlindungan sumber daya alam lokal akan hilang rohnya. Nilai adat akan hilang seiring semakin meningkatnya akses dan akan memberi ruang bagi pemodal yang bergerak dalam pariwisata apalagi akan diizinkan dalam zona yang disiapkan khusus dibandingkan dengan Taman Nasional yang membatasinya.  

  • Alternatif Hukum Adat diterapkan dalam pengelolaannya

Suatu pemikiran yang lebih jauh dari kelompok masyarakat adat Mollo dimana seluruh pengelolaan CA Timau diserahkan menjadi urusan adat. Ini berarti butuh proses panjang sebelum Undang-undang terkait masyarakat hokum adat direvitalisasi dan difungsikan kembali. Ada keyakinan dan nostalgia akan masa lalu. Masyarakat lebih patuh kepada semua urusan adat. Para tokoh adat meminta agar CA Mutis diserahkan kepada adat dan dikelola melalui Hutan Adat.

Dari ketiga point yang menjadi tuntutan dari beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakat Mollo ini harus mendapat penjelasan yang memadai agar perbedaan pertimbangan budaya, adat, ekonomi harus ditempat setara dengan aspek teknis.

Dengan adanya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor 946 Tahun 2024 tentang Perubahan Fungsi Dalam Fungsi Pokok Cagar Alam Mutis Timau menjadi Taman nasional dan Perubahan Fungsi Antar Fungsi Pokok Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau menjadi Taman Nasional di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi NTT seluas 78.789 Ha (Tujuh Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Delapan Puluh Sembilan Hektare) Link maka perdebatan ini akan menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks. Proses awal adalah berupaya supaya keputusan ini dianulir melalui lembaga peradilan. Jika tidak maka plihan selanjutnya adalah kompromi dan kolaborasi sebagai jalan tengah. Namun ini akan menjadi jalan panjang antara kepentingan teknis dan kepentingan masyarakat local.

Dalam tulisan berikut akan kami uraikan kronologis pengusulan sebelum terbitnya PermenLHK Nomor 946 Tahun 2024.

Kris Hale
Kris Hale

Bekerja sebagai ASN selama lebih dari 30 tahun. Berkecimpung dalam bidang Kehutanan, Perkebunan, Pertanaian dan Lingkungan Hidup.

Articles: 13

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *